Sabtu, 09 Januari 2010

Polemik Sakral Profan Tarian Bali

Budayawan, rohaniwan, dan sejumlah tokoh agama Hindu di Bali terlibat polemik seru, ketika tarian Rejang Dewa dipentaskan di panggung Ramayana, Candi Prambanan, yang disaksikan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid beserta anggota kabinet. Pementasan tarian itu memang merupakan rangkaian ritual tawur kesangka, yaitu upacara bersih bumi untuk menyongsong tahun baru Saka 1922. Tari Rejang Dewa, yang dibawakan oleh mahasiswi-mahasiswi ISI Yogyakarta dengan latar belakang Candi Prambanan, memanglah menyuguhkan pemandangan yang sangat estetis, kendati tetap khusyuk.

Di Bali, tarian Rejang Dewa biasanya dipentaskan pada upacara-upacara ritual yang dihadiri umat Hindu. Sebetulnya, seringkali pejabat-pejabat daerah dari bupati sampai gubernur hadir dalam upacara ritual seperti itu. Cuma kebetulan mereka umumnya beragama Hindu sehingga jarang sampai muncul perasaan seakan-akan tarian itu disuguhkan untuk pejabat, bukan persembahan buat para dewata.

Di Prambanan, suasananya memang lain. Hadirin termasuk rombongan pejabat duduk mengitari panggung Ramayana, dan menyaksikan pementasan Rajang Dewa seperti menonton pertunjukan teater biasa. Maka, kontan timbul kritik dan kecaman bahwa panitia tawur kesangka kurang hati-hati, dan dianggap menyuguhkan tarian Rejang Dewa.

Agaknya, kritik dan kecaman terhadap pementasan Rejang Dewa di hadapan rombongan presiden di Candi Prambanan merupakan kelanjutan dari kebingungan serta kecemasan elit-elit budayawan Bali terhadap perubahan yang melanda masyarakat pulau itu. Pariwisata yang mulai berkembang tahun 1960-an dan berkembang pesat pada tahun 1970-an, kadang-kadang mengandung satu sisi negatif : menyulap segala karya budaya menjadi sesuatu yang komersial.



  • Kreasi dan Imitasi

Polemik dan kritik tajam tersebut sesungguhnya menggambarkan kebingungan hampir sepanjang 30 tahun dari masyarakat Bali yang mempersoalkan sakral-profan dari kreasi-kreasi seni di pulau itu. Tahun 1970-an memang pernah ada seminar Listibya (Majelis Tinggi Kebudayaan Bali) yang kemudian mengategorikan kesenian di Bali menjadi tiga macam : seni wali, bebali, dan balih-balihan.

Seni wali adalah seni pertunjukkan yang dipentaskan dalam rangkaian upacara ritual tertentu, seperti baris gede, barus cina, dan calonarang. Seni bebali adalah jenis kesenian yang berkaitan dengan upacara ritual manusia yadnya, seperti upacara bayi tiga bulanan, upacara potong gigi, pernikahan, kematian, dan lain-lain. Sementara yang tergolong balih-balihan adalah murni hiburan, semacam joget, drama gong, sendratari, arja, dan sebagainya.

Tentu, kategorisasi ini tidak bisa berlaku kaku, karena seni teater macam Calonarang merupakan gabungan, misalnya, cerita drama gong dengan lakon Rangda Dirah yang dilanjutkan dengan adegan nguying (penari yang trance dan menikam-nikam tubuhnya dengan keris).

Kalau melihatnya dari aspek sakral-profan, hampir seluruh kesenian Bali dipentaskan dengan penyertaan keyakinan religius. Sekeha Joged yang menari-nari erotis di antara pemuda-pemuda yang genit saja pun, memiliki pendeta yang bertugas mempersembahkan sesajen. Kendati menari di panggung hotel berbintang, mereka tetap mempersembahkan sesajen untuk memohon keselamatan dan rezeki.

Sumber :

Jos Daniel Parera dan Frans Asisi Datang, Pelajaran Berbahasa Indonesia 3, Erlangga, Jakarta, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar