Sabtu, 09 Januari 2010

Barong Kuntisraya

Pada tahun 1960-an, I Made Keredek, seniman serta babinasa dari Desa Singapadu, Gianyar, bersama kawan-kawanya menggubah Barong Kuntisraya dan dipentaskan sebagai tontonan untuk turis. Menurut Prof. Made Bandem, Barong Kuntisraya itu sengaja digubah untuk melindungi kesakralan ‘petapakan-petapakan’ barong yang disemayamkan di pura-pura.

Di Bali, ribuan desa yang bertebaran di pelosok-pelosok umumnya memiliki barong sakral yang hanya dipentaskan dalam kaitan ritual tertentu. Ketika turis datang ke Bali pada tahun 1960-an, masyarakat Bali tidak mau mementaskan ‘petapakan-petapakan’ mereka yang disucikan itu. Maka, dibuatlah imitasinya, yang dikreasi sedemikian rupa sehingga layak menjadi tontonan.

Sebelumnya, pada tahun 1930-an, Walter Spies dan Wayan Limbak di Samuan Tiga menggubah monkey dance yang dikenal sebagai tari cak. Spies mendapat inspirasi dari tari Sang Hyang, sebuah tarian ritual yang sangat sacral. Kini, cak merupakan salah satu mascot pariwisata Bali, sementara tari Sang Hyang tetap suci di tempat persemayamannya.

Tari-tarian ‘balih-balihan’ yang kini sangat dikenal di Bali diubah secara kreatif dengan inspirasi tarian sakral. Legong Kraton dan legong-legong lain yang berkembang di Bali terinspirasi oleh Legong Topeng di Pura Pagayon Agung Ketewel. Di Pagoyan Agung, imitasi Legong Topeng pun hanya dipentaskan sekali setahun, sementara yang asli disemayamkan di ‘pagedongan’. Ada lagi gambuhan yang sangat berani, menggubah Gambuh Macbeth di mana Kadek menggunakan gambuh sebagai medium, padahal di Desa Pedungan merupakan warisan ritual untuk pura setempat.

Tahun 1998, seniman Nyoman Erawan mengubah seni rupa pertunjukkan Ruwatan Seni Nyoman Erawan, di mana ia menari-nari dari dunia kreasi yang profan, tetapi kemudian menutupnya dengan ritus ruwatan yang lengkap sesajen dan pendetanya. Pementasan Erawan disaksikan ribuan orang, tetapi dia tidak pernah merasa bahwa dia mempersembahkan tarian dan sesajen itu untuk penonton. “Sesajen adalah perlambang saja untuk menghubungkan diri dengan Yang di Atas,” tegasnya.

Sebetulnya, kalau menurut proses penciptaan berbagai karya seni hiburan di Bali secara historis, hampir sebagian besar mendapat inspirasi dari kesenian ritual yang disakralkan. Para empu seni tempo dulu tetap memelihara ‘sumber mata air’-nya dan menciptkan pancuran-pancuran baru, di mana penonton bisa minum, tanpa harus menunggu upacara ritual diselenggarakan. Kalau harus menyaksikan dalam konteks ritual, malahan bisa mengganggu penyelenggaraan upacara yang seharusnya berlangsung khusyuk.


Sumber :

Jos Daniel Parera dan Frans Asisi Datang, Pelajaran Berbahasa Indonesia 3, Erlangga, Jakarta, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar